Sebelum membahas mengenai teori-teori pengambilan
keputusan dalam organisasi, kita merli sedikit menggaris bawahi tentang
perbedaan antara pengambil keputusan strategis dan pengambilan keputusan
manajerial. Menurut Sanchez dan Heene (2004: 145), ada pernedaan subtansial
antara pengambilan keputusan strategis dan pengambilan keputusan operasional.
Pengambilan keputusan strategis biasanya dicirikan oleh kompleksitas struktural
(Structural complexity), kompleksitas
dinamik (dynamic complexity), informasi
yang tidak lengkap dan tidak sempurna (incomplete
and inferpect information), dan ketidak pastian inhern (irreducible uncertainty). Dengan
perkataan lain, para pengambil keputusan strategis biasanya dihadapkan pada
stiktur permasalahan yang kompleks dan bersifat dinamis (berubah-ubah).
Sementara itu, informasi yang dimiliki sebagai dasar keputusan biasanya tidak
lengkap dan tidak sempurna serta mengandung ketidakpastian yang inhern. Oleh
karna itu, secara teoritis, pengambilan keputusan strategis lebih sukar
daripada pengambilan keputusan menejerial dan operasional.
Perbedaan
ini dapat digambarkan seperti perbedaan antara “strategis” dan “taktik” dalam
dunia militer. Untuk memperoleh kemajuan dimedan perang, seorang panglima
perang terkadang harus menarik mundur armadanya dan memberikan musuh masuk dan
menduduki wilayah tertentu. Ini adalah strategi. Demikian pula dalam
organisasi, keputusan yang strategis yang tepat sangat menentukan keputusan
menejerial dan keputusan operasional yang yang di ambil oleh jajaran pelaksana.
Tanpa hal tersebut, keputusan-keputusan menejerial dalam level menejemen dan
keputusan-keputusan operasional di level pelaksana akan kehilangan koordinasi
satu sama lain, atau kehilangan relevansinya terhadap pencapaian berbagai
tujuan organisasi. Jika hal ini terjadi, organisasi dapat tergeser pada posisi
yang tidak menggantungkan di tengah-tengah lingkungannya. Dipandang dari sudut
pandang mana pun, hal ini tentunya merupakan kerugian besar yang harus
dihindari oleh setiap pengangambil keputusan.
a.
Teori
Rasionalitas Terbatas
Terlepas
dari perbedaan antara keputusan strategis dan keputusan menejejerial atau
operasional yang telah dijelaskan. Ada satu asumsi yang sejak awal
melatarbelakangi konsep-konsep tentang pengambilan keputusan dalam organisasi.
Menurut
Simon, setiap pengambil keputusan didalam organisasi memang berusa mengambil
keputusan secara rasional, tetapi ada hal-hal tertentu yang membatasi upaya
tersebut, yaitu.
1.
Informasi yang
tidak sempurna dan tidak lengkap.
2.
Kompleksitas
pemrasalahan yang dihadapi.
3.
Keterbatasan
kapasitas pengolahan informasi manusia.
4.
Keterbatasan
waktu yang tersedia untuk mengambil keputusan.
5.
Politik internal
organisasi yang menimbulkan preferensi-preferensi yang saling berlawanan
tentang tujuan-tujuan organisasi.
Factor-faktor ini secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi arah pengambilan
keputusan, sedemikian rupa sehingga yang diramalkan oleh model rasional bisa
jadi tidak terwujud dalam kenyataan. Artinya, proses pengambil keputusan yang
mengarah pada pilihan-pilihan paling optimal bagi organisasi (yaitu,
solusi-solusi yang paling efektif dan efisien) demikian berbelok kearah lain.
Simon menanamkan pengambilan keputusan dalam organisasi sebagai rasional
terbatas. Simon sebenarnya masih mengacu pada
rasionalitas sebagai basis pengambilan keputusan, tetapi ia menetapka
syarat-syarat atau sebagai pembatas bagi rasinoalitas itu sendiri. Dalam
situasi riil pengambilan keputusan, seorang administrator atau menejer biasanya
tidak berusaha untuk mengumpulkan dan menelaah semua kemungkinan solusi yang
ada. Mereka lebih cenderung menyandarkan diri pada informasi yang telah
terbuktu berguna berdasaarkan pengalaman sebelumnya.
Menurut Sanchez dan Heene (2004;150), rasional terbatas inilah yang
menimbulkan berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam banyak kasus pengambilan
keputusan strategis. Tanda-tandanya antara lain:
1.
Pengambilan
keputusan tidak jarang mengabaikan informasi penting yang sesungguhnya tersedia
dalam pengambialan keputusan.
2.
Pengambilan
keputusan cenderung secara selektif berfokus pada informasi yang cocok dengan
perasaan atau opini mereka mengenai suatu keadaan, alih-alih memperhitungkan
secara serius informasi yang berlawanan dengan pandangan mereka saat ini.
3.
Pengambil
keputusan tidak jarang terlalu cepat melakukan penurunan sasaran lebih rendah
dari yang seharusnya telah di tetapkan ketika tujuan yang awal terlihat sulit
untuk dicapai.
4.
Pengambilan
keputusan terkadang tidak mengacuhkan peluang-peluang yang belum pernah
tergali, kendati mereka tahu bahwa peluang tersebut barangkali ukup signifikan.
5.
Pengambilan
keputusan lebih suka peluang-peluang “baru” yang secara konseptual dekat dengan
proses-proses organisasional yang ada saat ini.
Pengambilan keputusan memiliki kecenderungan untuk
membuat keputusan berdasarkan apa-apa yang “akrab” dengannya, pedahal, belum
tentu bahwa suatu informasi, peluang atau metode yang “tidak akrab” itu lebih
buruk. Bisa jadi, justru pada hal-hal tersebut terdapat solusi yang lebih
menguntungkan bagi organisasi. Namun, demikianlah sifat atau karakter pengambil
keputusan. Teori rasionalitas terbatas ini penting karena berhasil membongkar
salah satu asumsi dasar yang selama ini mewarnai teori-teori pengambil
keputusan klasik. Teori ini mejelaskan juga bahwa situasi pengambil keputusan
tidak selamanya berada dalam ruang rapat yang tenang dan kondusif, melainkan
bisa pula pada kondisi-kondisi ekstrem dimana keputusan harus diambil secara
cepat dalam waktu yang terbatas. Artinya, situasi ideal tentang pengambilan
keputusan tidak selamanya terwujud dalam realitas kehidupan organisasi
sehari-hari. Untuk memahami realitas pengambilan keputusan dalam organisasi
dewasa ini, berbagai situasi pengambil
keputusan yang berbeda ini perlu dikaji.
b.
Berbagai Proses
Pengambilan Keputusan
Secara
umum, ada dua factor yang menentukan kondisi dan situasi pengambilan keputusan,
yaitu (1) sepakat atau tidak sepakatnya para pengambil keputusan mengenai cara
dan (2) sepakat atau tidak sepakatnya para pengambil keputusan mengenai tujuan
atau definisi permsalahan.
Berdasarkan kombinasi dari dua factor ini, terdapat
empat model proses pengambilan keputusan yang efektif, yaitu (Hatch:
1997:275-9);
1.
Proses keputusan
rasional: jika cara dan tujuan/defenisi masalah relative disepakati.
2.
Proses keputusan
koalisi; jika cara disepakati tetapi tujuan/defenisi masalah tidak disepakati.
3.
Proses keputusan
coba-coba; jika cara tidak disepakati tetapi tujuan/defenisi masalah
disepakati.
4.
Proses keputusan
tong sampah; jika cara maupun tujuan/defenisi masalah tidak disepakati.
Kelemahan proses keputusan rasional adalah pada
situasi ambiguitas dan ketidaklengkapan informasi. Namun ketikas cara dan
tujuan di sepakati oleh para pengambil keputusan, proses keputusan rasional
bukan sesuatu yang tidak mungkin di lakukan. Khususnya untuk masalah – masalah
teknis yang terdefinisi secara jelas misalnya permasalahan – permasalahan dalam
ruang lingkup engineering, biasanya pengambl keputusan di bekali dengan
berbagai perangkat atau alat bantu pengambilan keputusan, seperti prosedur –
prosedur statistic, teknik – teknik pemogrraman linier, analisis system, dll.
Melalui berbagai perangkat analisis tersebut, permasalahan - permasalahan yang sangat komplek sekalipun biasanya
masih dapat di jabarkan secara sederhana, sehingga memudahkan pengambilan
keputusan secara rasional.
Pada
situasi lain, pihak – pihak yang membuat keputusan sudah sepakat tentang tujuan
– tujuan yang hendak di capai tetapi tidak sepakat mengenai cara mencapainya.
Di sini, biasanya di tempuh proses keputusan coba – coba keputusan ini tidak di
ambil secara derastis, melainkan di coba dulu satu langkah kecil atau terbatas,
kemudian di lihat dampak dan hasilnya. Jika hasil positif, maka di lanjutkan
dengan langkah yang lebih besar dan luas. Namun jika hasilnya ternyata
negative, di ambil langkah atau solusi yang berbeda dari sebelumnya demekian
seterusnya dapat tercapai pemecahan masalah yang bersifat menyeluruh.
Pada
situasi dimana kesepakatan tentang caradi capai tetapi terjadi ketida ksepakatan
mengenai tujuan atau definisi permasalahan, proses keputusan kualisi adalah
model yang lebih sesuai untuk diterapkan. Ini biasanya di ambil dalam
pengambilan keputusan di organisasi organisasi besar, dimana berbagai
kepentingan dan kelompok saling memperebutkan sumber daya organisasi untuk
mewujudakn berbagai tujuan sendiri. Model keputusan koalisi di mana suara
terbanyak adalah pemenang atau semacam voting. Model keputusan ini tidak ideal
untuk organisasi secara keseluruhan. Dimana pihak-pihak yang kalah akan merasa
tersingkir dan berusaha mencari cara lain untuk memperjuangkan kepentingannya.
Akan tetapi, pada kondisi dimana ketidakpastian mengenai tujuan/definisi
permasalahan sedemikian tajam. Jika tidak, maka pengambil keputusan akan
menemukan jalan buntu, tanpa menghasilkan keputusan apa pun yang bisa
depedomani oleh anggota organisasi.
Pada
situasi terburuk, dimana tidak ada kesepakatan tentang cara maupun tujuan di
antara pengambil keputusan, proses keputusan tong sampah adalah model yang
terjadi. Dalam hal ini, keputusan diambil secara acak (random), oleh peserta yang saling berganti, dan melalui perumusan
masalah yang tidak ada hubungannya satu sama lian. Jadi, organisasi hanya
semacam wadah yang menampung beraneka jenis keputusan dari peserta yang
berbeda-beda . sebenarnya dalam mengambil keputusan bukanlah tidak adanya
kesepakatan mengenai cara dan tujuan, melainkan pada suatu sifat aktivitas anggota
anggota organisasi yang terpecah-pecah atau terbagi-bagi oleh bermacam-macam
urusan yang berbeda sehingga tidak ada waktu untuk senantiasa ikut serta
memproses keputusan secara penuh.
Adanya
empat jenis pengambil keputusan tersebut menggambarkan bahwa dewasa ini situasi
yang dihadapi organisasi tidak selalu sama. Satu model pengambilan keputusan
bisa cocok pada satu situasi tertentu, tetapi tidak efektif bila diterapkan
pada situasi lain yang berbeda. Seorang mengambil keputusan perlu mempelajari dan
mengenali adanya perbedaan-perbedaan semacam ini agar mampu menggunakan
cara-cara yang paling efektif sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
c.
Peran Intuisi
dalam Mengambil Keputusan
Intuisi
sering di anggap sebagai produk “otak kanan”, lawan dari keputusan rasional
yang meupakan produk dari kemampuan analitis otak kiri manusia. Otak kanan
tidak bekerja berdasarkan angka angka, fakta fakta, atau data yang dip roses
secara linier sebagai mana otak kiri, melainkan suatu proses yang seolah olah
bersipat “seketika” dimana perlu terlebih dahulu telah sampai pada suatu
kesimpulan atau pemahaman sebelum ia sendiri mampu mencerna keseluruhan segi
permasalahan yang sedang di hadapi.
Intuisi
menjadi suatu hal yang penting dalam pengambilan keputusan organisasi manakala
situasi pengambilan keputusan cara rasional tidak memungkinkan. Menurut agor,
intuisi penting contohnya adalah pada saat saat sebagai berikut:
1.
Permasalahan
yang dihadapi mengandung unsure ketidak pastian yang tinggi
2.
Tidak ada atau
sangat sedikit contoh preseden sebelumnya yang serupa dengan masalah tersebut.
3.
Variable-variabel
keputusan tidak bisa di prediksi secara ilmiah.
4.
Fakta-fakta yang
tersedia sangat sedikit.
5.
Analisis data
tidak bisa banyak membantu.
6.
Terdapat sumlah
alternative pemecahan masalah, yang masing-masing masuk akal dan memiliki
argumentasi yang kuat.
7.
Waktu untuk
mengambil keputusan sangat sempit dan keputusan harus di ambil dengan segera.
Situasi pengambilan keputusan “normal” kadang-kadang
tidak ditemui dalam praktik sehari hariorganisasi karena perubahan lingkungan
yang cepat dan sering kali tidak mudah untuk di prediksi. Sementara itu,
pengambil keputusan tetap harus menghasilkan suatu keputusan yang jelas agar
menjadi pedoman bagi organisasi. Mengingat hal tersebut, meskipun sejauh ini
pengambilan keputusan melalu intuisi belum banyak dikaji secara ilmiah, khusus
nya dalam teori organisasi, bisa jadi dimasa mendatang bidang kajian ini akan
mendapat tempat yang tidak kalah pentingnya dibandingkan teori-teori
pengambilan keputusan yang berbasis rasionalitas.