Jumat, 03 Februari 2017

K A M U dan Jarak

Untuk kamu yang jauh disana

Aku benci terhadap jarak, karena jaraklah yang menjauhkan aku dengan kamu.

Mengapa jarak itu harus ada?

Dengan adanya jarak, mungkin seseorang bisa merasakan rindu.
Dengan adanya jarak, mungkin seseorang lebih bisa menghargai arti sebuah pertemuan.
Dengan adanya jarak, mungkin seseorang bisa bersabar.

Tapi tidak dengan aku.
Rindu ini tidak bisa terobati.
Sabar ini tidak menghasilkan apapun.

Karena menurut ku, rindu hanya bisa diobati oleh pertemuan.
Dan karena adanya jarak, pertemuan itu tidak ada.

Dari aku yang merindukanmu

Jumat, 23 Desember 2016

Indeks Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan




Nama                          :           Amalia Fajri Wijaya
Nim                             :           2227150109
Semester/Kelas          :           3/C
Fakultas/Jurusan      :           FKIP/PGSD
Mata Kuliah              :           Filsafat Ilmu Pendidikan


Tugas-Tugas (Blog), berikut merupakan link pada setiap judul blog-nya :

3.      Identitas Nasional
4.      Gerak Benda
5.      Pidato B.Inggris
7.      #UdahPutusinAja
58.  Seni Musik
59.  Seni Rupa
60.  Seni Tari
61.  Seni Drama
80.  Kalsinasi
101.  Satu Alasan
102.  Kompensasi

Kekuasaan Dapat Diperoleh Atau Hilang

Seringkali kekuasaan dipergunakan silih berganti dengan istilah-istilah lainnya seperti pengaruh (influence) dan otoritas (authority). Pelopor pertama yang memperguakan istilah kekuasaan adalah Max Weber. Dia merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemungkinaan yang membuat seorang actor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan menghilangkan halangan. Kekuasaan dipergunakan hanya jika tujuan tujuan tersebut paling sedikit mengakibatkan perselisihan satu sama lain. Russel mengartikan kekuasaan itu sebagaikan suatu produksi dari akibat yang di inginkan. Bierstedt mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mempergunakan kekuatan. Wrong mrmbatasi kekuasaan hanya pada suatu control atas orang lain yang berhasil. 

Dahl mengatakan bahwa jika orang A mempunyai kekuasaan atas orang B, maka A bisa meminta B untuk melaksanakan sesuatu yang tidak bisa di lakukan oleh B terhadap A. dengan demikian, kekuasaan adalah suatu sumber yang bisa atau tidak bisa di pergunakan. Penggunaan kekuasaan slalu mengakibatkan perubahan dalam kemungkinan bahwa seseorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahaan perilaku yang di inginkan. Perubahan ini dirumuskan oleh rogers sebagai pengaruh. Dengan demikian pengaruh ruang lingkupnya biasanya lebih sempit di bandingkan dengan kekuasaan. Ia merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah orang atau kelompok lain dalam cara yang spesipik misalnya dalam kekuasaan dan pelaksanaan kerjanya.

Sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut yang dihubungkan dengan konsep kepemimpinan yang telah di uraikan dimuka, maka pendapat Rogerst nampaknya dapat memberikan rumusan yang bermakna bagi kepemimpinan. Kepemimpinan seperti yang dirumuskan di depan ialah satu proses untuk mempengaruhi aktivitas-aktivitas individu atau kelompok dalam usahanya untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dengan demikian, secara sederhana kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi, sementara itu kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. 
 
Dua teori yang menjelaskan bagaimana kekuasaan diperoleh atau hilang adalah:
a.      Teori Pertukaran Sosial
Menjelaskan bagaimana kekuasaan diperoleh dan hilang saat terjadinya proses saling mempengaruhi seiring waktu antara pemimpin dan bawahan dalam kelompok kecil dan menekankan pada kekuasaan dan wewenang berdasarkan keahlian, dan bentuk lain dari kekuasaan tidak terlalu dibahas. Bentuk fundamental dari interaksi social adalah pertukaran manfaat atau bantuan, yang bukan hanya meliputi manfaat material, tetapi juga manfaat psikologi, sepeti pernyataan persetujuan, respek, penghargaan dan kasih sayang. Harapan anggota mengenai peran kepemimpinan apa yang harus dimiliki seseorang dalam kelompok terpengaruh oleh loyalitas orang itu dan kompetensi yang diperlihatkannya. Besarnya setatus dan kekuasaan yang sesuai bagi sesorang adalah proporsional terhadap evaluasi kelompok atas potensi kontribusi relatif orang tersebut dengan anggota lainnya.
b.       Teori Kontingensi Strategis
Menjelaskan bagaimana diperoleh dan hilangnya kekuasaan berbagai subunit dalam organisasi (misalnya,departemen fungsional atau divisi produksi) dan implikasi dari distribusi kekuasan tersebut untuk efektivitas organisasi dalam lingkungan yang berubah. Teorinya mendalilkan bahwa kekuasaan dari sebuah subunit tergantung pada tiga faktor : (1) keahlian dalam menanggulangi masalah yang penting, (2) sentralitas dari subunit dalam alur pekerjaan, dan (3) tingkat di mana keahlian dari subunit tersebut adalah unik, tidak dapat digantikan dengan yang lainnya. Keberhasilan dalam menyelesaikan masalah penting adalah sumber kekuasaan berdasarkan keahlian untuk subunit, sama seperti untuk individu. Kesempatan untuk memperlihatkan keahlian dan memperoleh kekuasaan darinya lebih besar bagi subunit yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang keritis masalah di anggap kritis bila esensinya jelas berkaitan dengan kelangsungan hidup dan kekayaan organisasi.
 Meskipun dua teori tersebut berfokus pada proses kekuasan pada berbagai level analisis yang berbeda, level-level tersebut memiliki berbagai kesamaan keunggulan dan sebagai besar memiliki kecocokan. Kedua teori menekankan pentingnya keahlian untuk memperoleh wewenang.

Teori Pengambilan Keputusan

Sebelum membahas mengenai teori-teori pengambilan keputusan dalam organisasi, kita merli sedikit menggaris bawahi tentang perbedaan antara pengambil keputusan strategis dan pengambilan keputusan manajerial. Menurut Sanchez dan Heene (2004: 145), ada pernedaan subtansial antara pengambilan keputusan strategis dan pengambilan keputusan operasional. Pengambilan keputusan strategis biasanya dicirikan oleh kompleksitas struktural (Structural complexity), kompleksitas dinamik (dynamic complexity), informasi yang tidak lengkap dan tidak sempurna (incomplete and inferpect information), dan ketidak pastian inhern (irreducible uncertainty). Dengan perkataan lain, para pengambil keputusan strategis biasanya dihadapkan pada stiktur permasalahan yang kompleks dan bersifat dinamis (berubah-ubah). Sementara itu, informasi yang dimiliki sebagai dasar keputusan biasanya tidak lengkap dan tidak sempurna serta mengandung ketidakpastian yang inhern. Oleh karna itu, secara teoritis, pengambilan keputusan strategis lebih sukar daripada pengambilan keputusan menejerial dan operasional.
            Perbedaan ini dapat digambarkan seperti perbedaan antara “strategis” dan “taktik” dalam dunia militer. Untuk memperoleh kemajuan dimedan perang, seorang panglima perang terkadang harus menarik mundur armadanya dan memberikan musuh masuk dan menduduki wilayah tertentu. Ini adalah strategi. Demikian pula dalam organisasi, keputusan yang strategis yang tepat sangat menentukan keputusan menejerial dan keputusan operasional yang yang di ambil oleh jajaran pelaksana. Tanpa hal tersebut, keputusan-keputusan menejerial dalam level menejemen dan keputusan-keputusan operasional di level pelaksana akan kehilangan koordinasi satu sama lain, atau kehilangan relevansinya terhadap pencapaian berbagai tujuan organisasi. Jika hal ini terjadi, organisasi dapat tergeser pada posisi yang tidak menggantungkan di tengah-tengah lingkungannya. Dipandang dari sudut pandang mana pun, hal ini tentunya merupakan kerugian besar yang harus dihindari oleh setiap pengangambil keputusan.
a.       Teori Rasionalitas Terbatas
            Terlepas dari perbedaan antara keputusan strategis dan keputusan menejejerial atau operasional yang telah dijelaskan. Ada satu asumsi yang sejak awal melatarbelakangi konsep-konsep tentang pengambilan keputusan dalam organisasi.
            Menurut Simon, setiap pengambil keputusan didalam organisasi memang berusa mengambil keputusan secara rasional, tetapi ada hal-hal tertentu yang membatasi upaya tersebut, yaitu.
1.      Informasi yang tidak sempurna dan tidak lengkap.
2.      Kompleksitas pemrasalahan yang dihadapi.
3.      Keterbatasan kapasitas pengolahan informasi manusia.
4.      Keterbatasan waktu yang tersedia untuk mengambil keputusan.
5.      Politik internal organisasi yang menimbulkan preferensi-preferensi yang saling berlawanan tentang tujuan-tujuan organisasi.

Factor-faktor ini secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi arah pengambilan keputusan, sedemikian rupa sehingga yang diramalkan oleh model rasional bisa jadi tidak terwujud dalam kenyataan. Artinya, proses pengambil keputusan yang mengarah pada pilihan-pilihan paling optimal bagi organisasi (yaitu, solusi-solusi yang paling efektif dan efisien) demikian berbelok kearah lain. Simon menanamkan pengambilan keputusan dalam organisasi sebagai rasional terbatas. Simon sebenarnya masih mengacu pada  rasionalitas sebagai basis pengambilan keputusan, tetapi ia menetapka syarat-syarat atau sebagai pembatas bagi rasinoalitas itu sendiri. Dalam situasi riil pengambilan keputusan, seorang administrator atau menejer biasanya tidak berusaha untuk mengumpulkan dan menelaah semua kemungkinan solusi yang ada. Mereka lebih cenderung menyandarkan diri pada informasi yang telah terbuktu berguna berdasaarkan pengalaman sebelumnya.  
Menurut Sanchez dan Heene (2004;150), rasional terbatas inilah yang menimbulkan berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam banyak kasus pengambilan keputusan strategis. Tanda-tandanya antara lain:
1.      Pengambilan keputusan tidak jarang mengabaikan informasi penting yang sesungguhnya tersedia dalam pengambialan keputusan.
2.      Pengambilan keputusan cenderung secara selektif berfokus pada informasi yang cocok dengan perasaan atau opini mereka mengenai suatu keadaan, alih-alih memperhitungkan secara serius informasi yang berlawanan dengan pandangan mereka saat ini.
3.      Pengambil keputusan tidak jarang terlalu cepat melakukan penurunan sasaran lebih rendah dari yang seharusnya telah di tetapkan ketika tujuan yang awal terlihat sulit untuk dicapai.
4.      Pengambilan keputusan terkadang tidak mengacuhkan peluang-peluang yang belum pernah tergali, kendati mereka tahu bahwa peluang tersebut barangkali ukup signifikan.
5.      Pengambilan keputusan lebih suka peluang-peluang “baru” yang secara konseptual dekat dengan proses-proses organisasional yang ada saat ini.
Pengambilan keputusan memiliki kecenderungan untuk membuat keputusan berdasarkan apa-apa yang “akrab” dengannya, pedahal, belum tentu bahwa suatu informasi, peluang atau metode yang “tidak akrab” itu lebih buruk. Bisa jadi, justru pada hal-hal tersebut terdapat solusi yang lebih menguntungkan bagi organisasi. Namun, demikianlah sifat atau karakter pengambil keputusan. Teori rasionalitas terbatas ini penting karena berhasil membongkar salah satu asumsi dasar yang selama ini mewarnai teori-teori pengambil keputusan klasik. Teori ini mejelaskan juga bahwa situasi pengambil keputusan tidak selamanya berada dalam ruang rapat yang tenang dan kondusif, melainkan bisa pula pada kondisi-kondisi ekstrem dimana keputusan harus diambil secara cepat dalam waktu yang terbatas. Artinya, situasi ideal tentang pengambilan keputusan tidak selamanya terwujud dalam realitas kehidupan organisasi sehari-hari. Untuk memahami realitas pengambilan keputusan dalam organisasi dewasa  ini, berbagai situasi pengambil keputusan yang berbeda ini perlu dikaji.
b.      Berbagai Proses Pengambilan Keputusan
            Secara umum, ada dua factor yang menentukan kondisi dan situasi pengambilan keputusan, yaitu (1) sepakat atau tidak sepakatnya para pengambil keputusan mengenai cara dan (2) sepakat atau tidak sepakatnya para pengambil keputusan mengenai tujuan atau definisi permsalahan.
Berdasarkan kombinasi dari dua factor ini, terdapat empat model proses pengambilan keputusan yang efektif, yaitu (Hatch: 1997:275-9);
1.      Proses keputusan rasional: jika cara dan tujuan/defenisi masalah relative disepakati.
2.      Proses keputusan koalisi; jika cara disepakati tetapi tujuan/defenisi masalah tidak disepakati.
3.      Proses keputusan coba-coba; jika cara tidak disepakati tetapi tujuan/defenisi masalah disepakati.
4.      Proses keputusan tong sampah; jika cara maupun tujuan/defenisi masalah tidak disepakati.
Kelemahan proses keputusan rasional adalah pada situasi ambiguitas dan ketidaklengkapan informasi. Namun ketikas cara dan tujuan di sepakati oleh para pengambil keputusan, proses keputusan rasional bukan sesuatu yang tidak mungkin di lakukan. Khususnya untuk masalah – masalah teknis yang terdefinisi secara jelas misalnya permasalahan – permasalahan dalam ruang lingkup engineering, biasanya pengambl keputusan di bekali dengan berbagai perangkat atau alat bantu pengambilan keputusan, seperti prosedur – prosedur statistic, teknik – teknik pemogrraman linier, analisis system, dll. Melalui berbagai perangkat analisis tersebut, permasalahan -  permasalahan yang sangat komplek sekalipun biasanya masih dapat di jabarkan secara sederhana, sehingga memudahkan pengambilan keputusan secara rasional.
            Pada situasi lain, pihak – pihak yang membuat keputusan sudah sepakat tentang tujuan – tujuan yang hendak di capai tetapi tidak sepakat mengenai cara mencapainya. Di sini, biasanya di tempuh proses keputusan coba – coba keputusan ini tidak di ambil secara derastis, melainkan di coba dulu satu langkah kecil atau terbatas, kemudian di lihat dampak dan hasilnya. Jika hasil positif, maka di lanjutkan dengan langkah yang lebih besar dan luas. Namun jika hasilnya ternyata negative, di ambil langkah atau solusi yang berbeda dari sebelumnya demekian seterusnya dapat tercapai pemecahan masalah yang bersifat menyeluruh.
            Pada situasi dimana kesepakatan tentang caradi capai tetapi terjadi ketida ksepakatan mengenai tujuan atau definisi permasalahan, proses keputusan kualisi adalah model yang lebih sesuai untuk diterapkan. Ini biasanya di ambil dalam pengambilan keputusan di organisasi organisasi besar, dimana berbagai kepentingan dan kelompok saling memperebutkan sumber daya organisasi untuk mewujudakn berbagai tujuan sendiri. Model keputusan koalisi di mana suara terbanyak adalah pemenang atau semacam voting. Model keputusan ini tidak ideal untuk organisasi secara keseluruhan. Dimana pihak-pihak yang kalah akan merasa tersingkir dan berusaha mencari cara lain untuk memperjuangkan kepentingannya. Akan tetapi, pada kondisi dimana ketidakpastian mengenai tujuan/definisi permasalahan sedemikian tajam. Jika tidak, maka pengambil keputusan akan menemukan jalan buntu, tanpa menghasilkan keputusan apa pun yang bisa depedomani oleh anggota organisasi.
            Pada situasi terburuk, dimana tidak ada kesepakatan tentang cara maupun tujuan di antara pengambil keputusan, proses keputusan tong sampah adalah model yang terjadi. Dalam hal ini, keputusan diambil secara acak (random), oleh peserta yang saling berganti, dan melalui perumusan masalah yang tidak ada hubungannya satu sama lian. Jadi, organisasi hanya semacam wadah yang menampung beraneka jenis keputusan dari peserta yang berbeda-beda . sebenarnya dalam mengambil keputusan bukanlah tidak adanya kesepakatan mengenai cara dan tujuan, melainkan pada suatu sifat aktivitas anggota anggota organisasi yang terpecah-pecah atau terbagi-bagi oleh bermacam-macam urusan yang berbeda sehingga tidak ada waktu untuk senantiasa ikut serta memproses keputusan secara penuh.  
            Adanya empat jenis pengambil keputusan tersebut menggambarkan bahwa dewasa ini situasi yang dihadapi organisasi tidak selalu sama. Satu model pengambilan keputusan bisa cocok pada satu situasi tertentu, tetapi tidak efektif bila diterapkan pada situasi lain yang berbeda. Seorang mengambil keputusan perlu mempelajari dan mengenali adanya perbedaan-perbedaan semacam ini agar mampu menggunakan cara-cara yang paling efektif sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
c.       Peran Intuisi dalam Mengambil Keputusan
            Intuisi sering di anggap sebagai produk “otak kanan”, lawan dari keputusan rasional yang meupakan produk dari kemampuan analitis otak kiri manusia. Otak kanan tidak bekerja berdasarkan angka angka, fakta fakta, atau data yang dip roses secara linier sebagai mana otak kiri, melainkan suatu proses yang seolah olah bersipat “seketika” dimana perlu terlebih dahulu telah sampai pada suatu kesimpulan atau pemahaman sebelum ia sendiri mampu mencerna keseluruhan segi permasalahan yang sedang di hadapi.
            Intuisi menjadi suatu hal yang penting dalam pengambilan keputusan organisasi manakala situasi pengambilan keputusan cara rasional tidak memungkinkan. Menurut agor, intuisi penting contohnya adalah pada saat saat sebagai berikut:
1.      Permasalahan yang dihadapi mengandung unsure ketidak pastian yang tinggi
2.      Tidak ada atau sangat sedikit contoh preseden sebelumnya yang serupa dengan masalah tersebut.
3.      Variable-variabel keputusan tidak bisa di prediksi secara ilmiah.
4.      Fakta-fakta yang tersedia sangat sedikit.
5.      Analisis data tidak bisa banyak membantu.
6.      Terdapat sumlah alternative pemecahan masalah, yang masing-masing masuk akal dan memiliki argumentasi yang kuat.
7.      Waktu untuk mengambil keputusan sangat sempit dan keputusan harus di ambil dengan segera.
Situasi pengambilan keputusan “normal” kadang-kadang tidak ditemui dalam praktik sehari hariorganisasi karena perubahan lingkungan yang cepat dan sering kali tidak mudah untuk di prediksi. Sementara itu, pengambil keputusan tetap harus menghasilkan suatu keputusan yang jelas agar menjadi pedoman bagi organisasi. Mengingat hal tersebut, meskipun sejauh ini pengambilan keputusan melalu intuisi belum banyak dikaji secara ilmiah, khusus nya dalam teori organisasi, bisa jadi dimasa mendatang bidang kajian ini akan mendapat tempat yang tidak kalah pentingnya dibandingkan teori-teori pengambilan keputusan yang berbasis rasionalitas.