BAB I
PENDAHULUAN
Orang islam belum tentu
berkepribadian muslim. Kepribadian muslim adalah seperti digambarkan oleh
Al-qur’an tentang tujuan dikirimkan Rasulullah Muhammad saw kepada umatnya,
yait menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Maka, seseorang yang telah mengaku
muslim seharusnya memiliki kepribadian sebagai sosok yang selalu dapat member
rahmat dan kebahagiaan kepada siapa dan apapun di lingkunagnnya. Taat dalam
mejalankan ajaran agama, tawadhu, suka membantu, memiliki sifat kasih sayang
tidak suka menipu, tidak suka mengambi hak orang lain, tidak suka mengganggu
dan tidak suka menyakiti orang lain.
Persepsi (gambaran) masyarakat
tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya
sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya
rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek
saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang
muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah
merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Watak Manusia
Watak manusia tercermin pada akhlak. Secara etimologi
akhlak berasal dari kata khalaqa dengan akar kata khuluqan (bahasa arab) yang
artinya perangai, tabiat, dan adat. Bisa juga disebut dengan khalqun (bahasa
arab) yang berarti kejadian, buatan, ciptaan atau system prilaku yang dibuat
oleh manusia baik itu yang bersifat positif maupun yang bersifat negative,
tergantung kepada tata nilai yang dijadikan landasan atau tolak ukurnya. Adapun
secara etimologi, akhlak adalah sesuatu motivasi intrinsik yang lahir dalam
perbuatan secara alamiah tanpa membutuhkan pikiran dan usaha.
2. Dimensi Kemanusiaan
Islam mengajarkan keseimbangan pemenuhan kebutuhan
lahir batin, dan penyaluran dorongan (potensi) dimensi jasad-ruh dalam
mengembangkan kepribadian anak (manusia). Dengan cara ini, sifat-sifat yang
terpuji muncul dari dalam jiwa, sehingga mencapai pada tingkat tertinggi perkembangan
psiko spiritual. Pada tingkat ini, wujud lahir dan batinnya, jiwa dan badannya,
mampu menyelaraskan dirinya dengan tuntutan-tuntutan naluri dan
ketetapan-ktetapan syariah, dalam kedamaian batin. Atau dengan kata lain,
terciptalah manusia seutuhnya, dengan kesadaran diri dan kesadaran ke-Tuhan-an
yang simultan.
3. Karakter Muslim
Karakter
muslim terlihat pada seluruh dimensi kemanusiaannya, baik lahir maupun batin. Ada beberapa karakteristik yang
harus dipenuhi seseorang sehingga ia dapat disebut berkepribadian muslim, yaitu
:
1.
Salimul ‘Aqidah / ‘Aqidatus Salima (Aqidah yang lurus/selamat)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH SWT, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya yang artinya : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. al-An’aam [6]:162). Karena aqidah yang lurus/selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH SWT, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya yang artinya : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. al-An’aam [6]:162). Karena aqidah yang lurus/selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.
2.
Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk/mengikuti (ittiba’) kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk/mengikuti (ittiba’) kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.
3.
Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk2-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, dimana beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh ALLAH SWT di dalam Al Qur’an sesuai firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. al-Qalam [68]:4).
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk2-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, dimana beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh ALLAH SWT di dalam Al Qur’an sesuai firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. al-Qalam [68]:4).
4.
Mutsaqqoful Fikri (wawasan yg luas)
Mutsaqqoful fikriwajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah SAW adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]:219). Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau SAW : “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim”.(Muttafaqun ‘alaihi).Dan menuntut ilmu yg paling baik adalah melalui majelis2 ilmu spt yg digambarkan ALLAH SWT dlm firman-Nya:“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Mujadilaah [58]: 11). Oleh karena itu ALLAH SWT mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. az-Zumar [39]:9).
Mutsaqqoful fikriwajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah SAW adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]:219). Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau SAW : “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim”.(Muttafaqun ‘alaihi).Dan menuntut ilmu yg paling baik adalah melalui majelis2 ilmu spt yg digambarkan ALLAH SWT dlm firman-Nya:“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Mujadilaah [58]: 11). Oleh karena itu ALLAH SWT mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. az-Zumar [39]:9).
5.
Qowiyyul Jismi (jasmani yg kuat)
Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah SAW menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim spt sabda beliau yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah”. (HR. Muslim).
Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah SAW menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim spt sabda beliau yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah”. (HR. Muslim).
6.
Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)”. (HR. Hakim).
Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)”. (HR. Hakim).
7.
Harishun Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8.
Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9.
Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un
Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Manfaat yang dimaksud disini adalah manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (HR. Qudhy dari Jabir).
Manfaat yang dimaksud disini adalah manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (HR. Qudhy dari Jabir).
4.
Jalan Menuju
Tuhan
Tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah, membangun komunikasi dan dialog antar ruh manusia dan Tuhan.
Tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah, membangun komunikasi dan dialog antar ruh manusia dan Tuhan.
a.
Maqamat Menuju Allah
Maqamat
(bentuk jamak dari maqam) yaitu tingkatan-tingkatan hidup para sufi, yang telah
dapat mencapai dan dekat dengan Tuhan-Nya. Adapun jumlah maqam yang ditempuh
oleh para sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan.
Abu Nasyr Al-Sarraj menyebut tujuh maqam, yaitu : taubat, wara’, zuhud,
kefakiran, kesabaran, tawakkal dan keridaan.
1. Taubat (al-taubat)
Taubat adalah sebenar-benarnya taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Seorang calon sufi yang sedang berada dimaqam ini menyesali segala perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, kemudian bertaubat dan berjanji tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosanya.
Taubat adalah sebenar-benarnya taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Seorang calon sufi yang sedang berada dimaqam ini menyesali segala perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, kemudian bertaubat dan berjanji tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosanya.
2. Wara (al-Wara’)
Wara adalah menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh syara’, termasuk juga menjauhi segala hal yang termasuk syubhat (meragukan halal-haramnya).
Wara adalah menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh syara’, termasuk juga menjauhi segala hal yang termasuk syubhat (meragukan halal-haramnya).
3. Zuhud (al-Zuhd)
Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan kehidupan material sebelum menjadi sufi seorang calon terlebih dahulu harus menjadi zahid (asketis).
Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan kehidupan material sebelum menjadi sufi seorang calon terlebih dahulu harus menjadi zahid (asketis).
4. Faqr (al-Faqr)
Faqr adalah keadaan tidak meminta
lebih dari pada apa-apa yang telah ada pada dirinya.
5. Sabar (al-shabr)
Sabar dalam menjalankan segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, juga sabar dalam menerima
segala cobaan yang menimpa dirinya.
6. Tawakkal (al-Tawakkal)
Tawakkal adalah menyerah kepada
qadha dan keputusan Allah, beramal karena Allah, bersyukur atas pemberian
Allah, dan mencukupkan dirinya dengan apa-apa yang telah diberikan Allah.
7. Rida (al-Ridha)
Rida adalah keadaan rela dalam
berbagai situasi, baik ataupun buruk, dan menyenangkan atau menyusahkan.
Semuanya diterima dengan penuh kerelaan dan keikhlasan kepada Allah.
b. Ahwal
Ahwal jamak dari bentuk kata hal
yaitu sikap rohaniyah (mental) seorang sufi dalam perjalanan tasawufnya.
Perbedaan anatara maqam dan hal adalah kalau maqam merupakan sikap hidup yang
harus diusahakan dengan kesungguhan dan latihan, sedangkan ahwal merupakan
anugrah Allah bagi yang dikehendakinya.
Adapun macam-macam hal adalah :
1. Khauf (al-Khawf)
Khauf adalah merasa takut akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang.
2. Tawadu (al-Tawadhu)
Tawadu adalah merendahkan diri dan
berlaku hormat pada siapa saja.
3. Takwa (al-Takwa)
Takwa adalah terpeliharanya hati
dari erbagai dosa yang mungkin terjadi karena danya keinginan yang kuat untuk
meninggalkannya sehingga mereka terpelihara dari perbuatan-perbuatanm buruk
(jahat).
4. Ikhlas (al-Ikhlas)
Ikhlas adalah orang yang tidak
pemrih dan tidak mengharapkan imbalan dari perbuatannya, melainkan ridho Allah.
5. Syukur (al-Syukr)
Syukur adalah pengakuan terhadap
nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya, baik bersyukur melalui lisan,
perbuatan maupun hati.
BAB III
PENUTUP
Pembentuk kepribadian dalam
pendidikan islam meliputi sikap, sifat, reaksi, perbuatan, dan perilaku.
Pembentukan ini secara relatif menetap pada diri seseorang yang disertai
beberapa pendekatan, yakni pembahasan mengenai tipe kepribadian, tipe
kematangan kesadaran beragama, dan tipe orang-orang beriman. Melihat kondisi
dunia pendidikan di indonesia sekarang, pendidikan yang dihasilkan belum mampu
melahirkan pribadi-pribadi muslim yang mandiri dan berkepribadian islam.
Akibatnya banyak pribadi-pribadi yang berjiwa lemah seperti jiwa koruptor,
kriminal, dan tidak amanah. Untuk itu membentuk kepribadian dalam pendidikan
islam harus direalisasikan sesuai Al-Qur’an dan al-Sunnah nabi sebagai
identitas kemuslimannya, dan mampu mengejar ketinggalan dalam bidang
pembangunan sekaligus mampu mengentas kebodohan dan kemiskinan. Konsep
kepribadian dalam pendidikan islam identik dengan ajaran islam itu sendiri,
keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan.
Untuk meraih kreteria Pribadi Muslim
di atas membutuhkan mujahadah dan mulazamah atau kesungguhan dan kesinambungan.
Allah swt berjanji akan memudahkan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh meraih
keridloan-Nya. “Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al Ankabut : 69”.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar