Hanya ada satu alasan yang
memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Sesuatu yang terus
bertalu-talu demikiannya mendorong langkahku kembali. Yang tak bisa
kudefinisikan apa. Yang tak pernah bisa berhasil kuterjemahkan ke dalam bentuk frasa
yang terangkai. Bahkan hanya sebuah pengakuan kecil saja barangkali, terhadap
hatiku yang melulu sakit, juga terhadap diriku yang entah rasanya seperti
tulang-belulang yang ringkih berdiri.
Aku menyangkal. Dalam bentuk apapun
jelmaan dirimu yang masih saja tinggal di sudut otakku. Aku mengoreknya agar ia
mau keluar dari kediamannya, tetap aku sia-sia. Hal yang selalu sama yang
kulakukan sedari dulu, enam tahun yang lalu. Jika aku sempat menghitungnya
berapa kali aku menyangkal, berapa kali aku menghindar, berapa kali aku menipu
diriku sendiri, dan berapa kali aku mencoba menjauh. Tapi pada akhirnya aku
selalu kalah dalam perseteruan tak tertulis ini. Mengalah pada perasaan yang
bodoh ini. Mengaku malu pada langit sepi yang berkali-kali menertawakan kegagalanku.
Selama tahun-tahun itu berlalu di
depan mataku, hampir tak secuil pun kenangan yang kulupakan atau terlupakan.
Aku merasa, apakah perasaanku ini pantas untuk disebut ‘memperjuangkan’ atau
‘diperjuangkan’? Atau, aku kah saja yang terlalu tolol?
Tidak bisa kuhakimi siapa yang
bersalah, aku, atau kamu? Jika aku, tolong katakan bila aku terlalu jauh
menterjemahkan bahasa hatimu yang begitu absurd. Tolong katakan bila aku salah
menilaimu selama ini. Tolong katakan. Dan jika kamu, aku ingin menanyakan banyak
hal yang selalu saja membuatku penasaran. Aku ingin kali ini saja kamu
menjawabnya.
Aku mengenalmu, Hei. Meski aku
hanya melihat keseharianmu saja dalam lembar hariku. Tak lebih, namun tak juga
kurang. Aku mengenalmu, sebagai teman dekatku. Tunggu dulu, apa tadi? Teman
dekat? Bahkan aku pun tak tahu apakah kamu akan mengakuiku sebagai teman
dekatmu? Aku dan kamu, memang terlihat dekat. Tetapi hanya kalimat-kalimat
canda yang mengenalkan kita. Kala itu, kita sering bergurau, apapun itu.
Leluconmu, membuat perutku bergoncang tak karuan, hingga aku ingin menangis
saking letihnya aku tertawa. Dengar, Hei. Setelah lama kita meninggalkan
lingkar kehidupan yang tadi, aku selalu merindukan kisah-kisah itu. Merindukan
sesuatu yang mungkin tak akan bisa kembali lagi. Benarkan? Tak seorang pun yang
mampu memutar masa lalu kembali. Dan aku hanya perlu membiarkan rindu itu
tertahan tanpa ucapan. Tersenyum palsu dan mengatakan bahwa aku telah
melupakanmu.
Aku merindukan suaramu, Hei. Yang
selalu memanggil namaku kencang. Yang membuat telingaku harus terpasang merekam
suaramu jika kamu berceloteh. Agar suatu hari jika aku merindukanmu, aku bisa
menerka-nerka suaramu dalam otakku. Bisa mendengar tawamu meski tak akan nyata
kini.
Aku merindukan wajahmu, Hei. Yang
kunilai nyaris sempurna. Sempurna, seperti yang dipujakan perempuan lain. Aku
ingin memandangmu lagi, memandang garis senyum sempurnamu untuk kurekam. Untuk
kusimpan lagi dalam otakku, dan sewaktu-waktu aku bisa memutarnya lagi. Meski
aku harus meraba-raba, tidak jelas.
Sederhana sebetulnya. Aku hanya
merindukanmu. Itu saja titik. Tanpa ada koma lagi.
Dan waktu menyeretku ke jam yang telah berlalu barusan. Membawa nostalgia yang nyata.
Mempertemukan aku dengan teman-teman lamaku setelah tiga tahun meninggalkan sekolah ini. Dan dirimu, Hei, ada di antara ribuan manusia yang berkunjung ke gedung ini.
Aku tidak tahu bagaimana
seharusnya, apakah aku harus berterimakasih pada waktu yang telah mempertemukan
kita kembali? Apakah aku harus tertawa, menghampirimu, memelukmu, bertanya
padamu ‘hei apa kabar?’ nyatanya aku tak akan bisa bertingkah seperti itu lagi
padamu semenjak empat tahun yang lalu. Kala itu kita bertransformasi menjadi
orang yang berbeda di mata masing-masing. Akukah yang mencoba menjauh? Ataukah
kamu telah melupakanku? Sejak itu kita hanya saling bertatapan tak mengerti
jika sesekali bertemu. Hanya diam dan mata yang mengisyaratkan hati kita
masing-masing. Menjadi kita yang tidak lagi saling mengenal.
Dan tatapan kaku itu kembali
membeku ketika aku menemukanmu di gedung ini. Kamu menatapku datar. Saat itu
detik bereplikasi kembali dalam satuan yang lebih kecil, memperlambat waktu.
Mata itu, yang sering menatap mataku dulu. Yang jemarinya pernah menghapus
airmataku lembut. Yang senyumnya meyakinkan diriku bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Yang genggaman telapak tangannya menghangatkanku. Aku
merindukanmu, Hei.
Gerimis kini telah berevolusi
menjadi hujan. Airnya sebesar biji jagung menghantam kap mobilku, berderu-deru.
Aku memutar pandangan ke sekitar, dari balik jendela. Menatap sekelilingku yang
mulai sepi. Manusia-manusia telah meninggalkan gedung ini satu jam yang lalu.
Malam mulai mengapit lara yang tak berarti apa-apa. Hujan menyebabkan
bintang-bintang malas bermunculan, bersembunyi di balik awan mendung.
Aku menghidupkan mesin mobil, dalam
sekejap lampu depan dari mobilku menyoroti jalanan. Kemudian aku segera tahu,
di depan sana dirimu berdiri di bawah lengkungan payung. Menghindari keganasan
dari air hujan. Membelah tirai hujan. Kamu menoleh untuk tersenyum. Memberikan
kehangatan di tengah lalu lalang angin yang bersahutan lirih. Membuat siapa
saja lepuh. Kamu kembali melangkah, masih mempertahankan senyum mu. Dan kamu
menggenggam tangannya. Menggenggam tangan seorang perempuan yang kamu cintai
dari semenjak empat tahun yang lalu. Perempuan yang sama. Penyebabku
menghindarimu.
Enam tahun, selama itu tak pernah
perasaan bodohku terungkap di hadapanmu. Didengar olehmu. Aku tidak
menginginkannya, Hei. Karena satu alasan, sederhana, aku mencintaimu tetapi
kamu mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar