Jumat, 23 Desember 2016

Terbang Gede


 
Terbang Gede adalah salah satu kesenian tradisional Banten yang tumbuh dan berkembang ketika para penyebar agama Islam menyebarkan ajarannya di Banten. Pada waktu itu, agama Islam masih belum begitu dikenal oleh masyarakat. Maka, para penyebar agama itu berharap bahwa dapat memperkenalkan agama Islam lewat kesenian Terbang Gede. Kemudian, kesenian ini berkembang pesat di lingkungan pesantren dan masjid-masjid, terutama di Kabupaten Serang dan Kota Serang.

Nama Terbang Gede diberikan karena salah satu instrumen musik utamanya adalah Terbang Gede (gede). Pada awalnya, kesenian ini berfungsi sebagai sarana penyebaran agama Islam, tetapi kemudian berkembang sebagai upacara ritual seperti: ngarak penganten, ruwatan rumah, syukuran bayi, hajat bumi, dan hiburan.

Kesenian Terbang Gede merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang pada masa penyebaran agama Islam Di Banten. Pada waktu itu, agama Islam dipandang sebagai agama baru di kalangan masyarakat. Oleh karena itu untuk pendekatan maka diciptakanlah alat musik Terbang Gede.

Kesenian Rakyat ini dibawa oleh seorang wali yang bernama syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gunung Jati, hidupnya menyebarkan agama Islam di Jawa Barat dan Banten dngan di Bantu oleh murid-muridnya. Pada tahun 1450-1500, sekitar abad ke XV masyarakat Jawa Barat dan Banten masih beragama Hindu. Sunan Gunung Jati mengutus lima orang dari Cirebon, yaitu : Sacapati, Madapati, Jayapati, Margapati, dan Wargakusumah untuk menyebarkan agama Islam, salah satunya dengan cara pementasan kesenian meniru kesenian yang berkembang di Tanah Makkah.

Kelima utusan kemudian membuat alat musik genjring yang berasal dari potongan kayu mirip yang ada di Tanah Makkah. Alat musik tersebut dinamakan Terbang. Kemudian dibuatlah limabuah terbang sebagai symbol dari rukun Islam yakni Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, Ibadah haji. Karena merasa kurang sempurna, maka dibuatlah satu buah kendang besar sebagai pelengkap.

Selanjutnya cucu Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Yusuf pada tahun 1570-1580, dan oleh puteranya yang bernama Abdulfathah (Sultan Ageng Tirtayasa), terbang ini dijadikan juga sebagai alat penyebaran agama Islam. Dan kesenian ini dapat diterima dan tumbuh berkembang di tengah-tengah masyarakat karena pada saat itu para pemain tidak mengharapkan imbalan apa-apa selain berkah dan pahala dari Allah swt.

Kesenian ini jadi santapan utama masyarakat Banten pada saat peringatan hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Muharam, Ekahan, Muludan, dan Rajaban. Dalam pertunjukan terbang ini terdapat lagu-lagu yang mengiringi seperti syair solawat nabi pada saat Ekahan yaitu pada fase menggunting rambut dan acara khitanan. Syair bilaia pada saat perkawinan yaitu ketika pengantin laki-laki memberikan kue kepada pengantin perempuan. Syair fakam dilantunkan pada saat Maulid Nabi Muhammad saw. Syair turu lare dibawakan pada upacara pengiring pengantin, dan syair nabi salawe dilantunkan pada waktu ngaruwat rumah yang baru dibangun.

Untuk pemainnya, terdiri atas tiga kelompok, yaitu saechu, pangrawit, dan vokalis. Saechu adalah pimpingan rombongan yang mengatur jalannya acara. Sementara, pangrawit terdiri atas enam orang laki-laki dan lima orang sebagai penabuh terbang serta satu orang penabuh gendang. Untuk vokalis terdiri dari laki-laki berjumlah 7-15 yang biasanya berusia lanjut.

Untuk waditra atau alat musiknya terdiri dari lima buah ditambah gendang yang terdiri atas satu buah gendang dan dua buah kulanter (alat musik berbentuk gendang). Dalam permainan kesenian ini pun diiringi dengan sholawatan nabi dalam bahasa Arab ataupun Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar