Terbang
Gede adalah salah satu kesenian tradisional Banten yang tumbuh dan
berkembang ketika para penyebar agama Islam menyebarkan ajarannya di Banten.
Pada waktu itu, agama Islam masih belum begitu dikenal oleh masyarakat. Maka,
para penyebar agama itu berharap bahwa dapat memperkenalkan agama Islam lewat
kesenian Terbang Gede. Kemudian, kesenian ini berkembang pesat di lingkungan
pesantren dan masjid-masjid, terutama di Kabupaten Serang dan Kota Serang.
Nama
Terbang Gede diberikan karena salah satu instrumen musik utamanya adalah
Terbang Gede (gede). Pada awalnya, kesenian ini berfungsi sebagai sarana
penyebaran agama Islam, tetapi kemudian berkembang sebagai upacara ritual
seperti: ngarak penganten, ruwatan rumah, syukuran bayi, hajat bumi, dan
hiburan.
Kesenian Terbang Gede merupakan
kesenian yang tumbuh dan berkembang pada masa penyebaran agama Islam Di Banten. Pada waktu
itu, agama Islam dipandang sebagai agama baru di kalangan masyarakat. Oleh karena itu untuk
pendekatan maka diciptakanlah
alat musik Terbang Gede.
Kesenian Rakyat ini dibawa oleh
seorang wali yang bernama syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gunung Jati,
hidupnya menyebarkan agama Islam di Jawa Barat dan Banten dngan di Bantu oleh
murid-muridnya. Pada tahun 1450-1500, sekitar abad ke XV masyarakat Jawa Barat
dan Banten masih beragama Hindu. Sunan Gunung Jati mengutus lima orang dari
Cirebon, yaitu : Sacapati, Madapati, Jayapati, Margapati, dan Wargakusumah
untuk menyebarkan agama Islam, salah satunya dengan cara pementasan kesenian
meniru kesenian yang berkembang di Tanah Makkah.
Kelima utusan kemudian membuat alat
musik genjring yang berasal dari potongan kayu mirip yang ada di Tanah Makkah.
Alat musik tersebut dinamakan Terbang. Kemudian dibuatlah limabuah terbang
sebagai symbol dari rukun Islam yakni Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, Ibadah
haji. Karena merasa kurang sempurna, maka dibuatlah satu buah kendang besar
sebagai pelengkap.
Selanjutnya cucu Sunan Gunung Jati
yang bernama Maulana Yusuf pada tahun 1570-1580, dan oleh puteranya yang
bernama Abdulfathah (Sultan Ageng Tirtayasa), terbang ini dijadikan juga
sebagai alat penyebaran agama Islam. Dan kesenian ini dapat diterima dan tumbuh
berkembang di tengah-tengah masyarakat karena pada saat itu para pemain tidak
mengharapkan imbalan apa-apa selain berkah dan pahala dari Allah swt.
Kesenian ini jadi santapan utama
masyarakat Banten pada saat peringatan hari-hari besar Islam seperti Idul
Fitri, Idul Adha, Muharam, Ekahan, Muludan, dan Rajaban. Dalam pertunjukan
terbang ini terdapat lagu-lagu yang mengiringi seperti syair solawat nabi pada
saat Ekahan yaitu pada fase menggunting rambut dan acara khitanan. Syair bilaia
pada saat perkawinan yaitu ketika pengantin laki-laki memberikan kue kepada pengantin
perempuan. Syair fakam dilantunkan pada saat Maulid Nabi Muhammad saw. Syair turu
lare dibawakan pada upacara pengiring pengantin, dan syair nabi salawe dilantunkan pada
waktu ngaruwat rumah yang baru dibangun.
Untuk pemainnya, terdiri atas tiga kelompok,
yaitu saechu, pangrawit, dan vokalis. Saechu adalah pimpingan rombongan yang
mengatur jalannya acara. Sementara, pangrawit terdiri atas enam orang laki-laki
dan lima orang sebagai penabuh terbang serta satu orang penabuh gendang. Untuk
vokalis terdiri dari laki-laki berjumlah 7-15 yang biasanya berusia lanjut.
Untuk waditra atau alat musiknya terdiri
dari lima buah ditambah gendang yang terdiri atas satu buah gendang dan dua buah
kulanter (alat musik berbentuk gendang). Dalam permainan kesenian ini pun
diiringi dengan sholawatan nabi dalam bahasa Arab ataupun Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar